Nasehat Menteri Agama untuk Ulama

Senin, 28 Mei 2007
Ulama laksana bintang dan menjadi tempat umat mendapat bimbingan. Akan lebih baik tak masuk dinia politik.  Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-196

 

Oleh: Adian Husaini

 

Jumat (18/5/2007) lalu, saat membuka acara Silaturrahim Pengasuh Pondok Pesantren se-Indonesia dan Rapat Kerja Nasional Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) di Jakarta., Menteri Agama RI, Maftuh Basyuni, mengeluarkan pernyataan penting seputar keberadaan ulama dalam dunia politik.  Menag mengimbau agar para ulama lebih mengutamakan dunia pesantren ketimbang dunia politik. Imbauan itu didasarkan pada pengamatannya, bahwa para ulama yang terjun ke politik, cenderung melupakan pengelolaan pesantrennya.

Dengan itu, menurut Menag, fungsi pesantren sebagai penjaga kekuatan moral bangsa dan pusat keilmuan dapat dikembalikan.

Imbauan Menag soal posisi ulama itu perlu direnungkan dengan serius. Menag tidak menyatakan bahwa para ulama sama sekali tidak boleh terjun dalam dunia politik.

Tapi, sudah sepatutnya, lembaga pendidikan Islam dan lembaga keilmuan lebih diprioritaskan.  Imbauan ini perlu diperhatikan, bukan karena yang mengucapkan adalah Menteri Agama, tetapi karena masalah yang diungkapkan memang sangat penting, yakni menyangkut eksistensi dan posisi ulama dalam kehidupan masyarakat.

Dalam ajaran Islam,  ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: ”Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.

Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.

Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang – pertama kali – harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).

Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hokum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.

Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.

Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Kata Nabi saw: ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.”  Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’.

Rasulullah saw bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagai pewaris Nabi, mereka harus memiliki kemampuan ilmu dalam masalah risalah kenabian dan sekaligus menjadi panutan dalam ibadah.

Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan diri — sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan.

Nabi Muhammad saw telah memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda

Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).

Mengingat amanah yang diemban oleh para ulama/kyai yang sekarang memimpin pesantren begitu besar, maka sudah semestinya mereka mencurahkan perhatian yang serius untuk mendidik para santrinya dan menjadikan lembaganya sebagai pusat perkaderan ulama. Tujuannya tentu saja, agar di masa depan, dari pondok pesantren itu akan lahir ulama-ulama yang baik yang akan menjadi ’bintang’ bagi masyarakatnya.

Karena itu, seyogyanya, para pimpinan pesantren serius merenungkan imbauan Menag untuk lebih sungguh-sungguh dalam mengasuh dan mengembangkan pesantrennya. Para kyai/ulama perlu berbagi tugas sesama mereka. Tugas utama mereka memang bergelut di bidang ilmu dan pendidikan. Jika sangat diperlukan dan posisinya sebagai ’ulama’ bisa digantikan yang lain, maka tidak ada salahnya ia terjun ke politik praktis.

Yang jelas, kita berharap, ke depan, pesantren-pesantren  di Indonesia akan benar-benar menjadi pusat pengembangan keilmuan Islam dan pusat kaderisasi ulama yang tangguh – yang benar-benar ’alim dan shalih. Kita berharap, pesantren mampu mengembangkan ilmu-ilmu Islam dengan canggih, sehingga suatu ketika nanti, kita bisa mengatakan, kaum Muslim tidak perlu belajar Islam ke Chicago, Leiden, Monash, Melbourne, Harvard, Oxford, dan sebagainya. Tapi, cukup belajar ke Pesantren Langitan, Sidogiri, Lirboyo, Gontor, dan sebagainya.

Jika di masa kolonialisme klasik, pesantren menjadi pusat perlawanan kaum Muslim, maka kita berharap, di masa imperialisme modern dan liberalisasi Islam saat ini, perlawanan pemikiran itu juga muncul dari pesantren. Para ulama perlu merenungkan kembali, bagaimana Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, dan para wali lain, sukses mengislamkan tanah Jawa ini, juga mulai dari pesantren.

Kita perlu benar-benar menyadari, bahwa hingga kini, Islam terus dijaga dan dibpertahankan oleh para ulama dan guru ngaji serta dai-dai yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Dengan kehidupan yang rata-rata sangat bersahaja, mereka tidak henti-hentinya mengemban amanah risalah, mengajarkan Islam kepada masyarakat. Adalah sangat mengharukan, bahwa hingga kini, masih banyak dai-dai kita di daerah pedalaman yang terus bertahan untuk menyebarkan ajaran Islam dan sekaligus membandung arus pemurtadan. Mereka jauh dari publikasi dan kehidupan duniawi yang layak.

Dalam imbauannya kepada para ulama, Menag memang tidak mengharamkan ulama untuk berpolitik. Tetapi, dengan posisinya sebagai ulama dan pimpinan pesantren yang berwibawa, maka para ulama itu dapat menjalankan fungsi politiknya dengan baik. Sebab, sebagai ulama, para ulama berkewajiban melakukan kontrol terhadap penguasa. Mereka harus menegur penguasa jika menyimpang dari kebenaran. Mereka wajib memberi nasehat, bukan hanya kepada rakyat tetap juga terutama kepada penguasa.

Apakah para ulama tidak boleh menjadi menteri, anggota DPR, atau Presiden?  Tentu saja tergantung pada situasi atau kebutuhan. Hanya saja, adalah merupakan kesalahan besar jika menganggap, bahwa menjadi anggota DPR adalah lebih mulia dari pada menjadi pimpinan pesantren. Adalah keliru jika seorang pimpinan pesantren berpikir, dia akan naik pangkat, jika diangkat oleh Presiden menjadi seorang menteri atau pejabat negara lainnya.

Seorang ulama harus memahami posisinya sebagai ulama dan menjaga martabatnya sebagai ulama. Ada kebiasaan salah di tengah masyarakat kita, jika memberi sambutan pada satu acara, maka yang disebut namanya terlebih dahulu adalah pejabat negara yang hadir; barulah setelah itu disebut nama-nama lain, termasuk para ulama. Itu memberi kesan, seolah-olah umara lebih tinggi martabatnya ketimbang ulama.

Padahal, para ulama itu menduduki posisi yang sangat mulia di tengah umat, yaitu sebagai pewaris para nabi. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan, bahwa penghuni langit dan bumi senantiasa memohonkan ampun bagi orang ’alim. Orang yang alim dan bertaqwa kepada Allah pasti akan dijamin oleh Allah SWT. Jika para ulama  benar-benar menjalankan amanah risalah dalam menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong mereka dan meneguhkan kedudukan mereka. (QS 47:7).

Mudah-mudahan imbauan Menteri Agama tentang peran dan posisi pimpinan pesantren dapat benar-benar dihayati. Jika ada pimpinan pesantren yang memang sangat dibutuhkan untuk terjun ke dunia politik di lembaga-lembaga kenegaraan, kita berharap, mereka mampu menunjukkan contoh teladan yang baik, bagaimana berpolitik secara Islami. Jangan sampai kehadiran mereka justru membawa fitnah, karena akhlak dan cara berpolitik mereka ternyata juga tidak berbeda dengan politisi yang tidak mengerti ilmu agama. Wallahu a’lam. [Depok, 25 Mei 2007/www.hidayatullah.com]

 

 

Catatan Akhir Pekan adalah hasil kerjasama antara  Radio Dakta 107 FM dan http://www.hidayatullah.com

 

Leave a comment